Sabtu, 10 Oktober 2009

TIDAK LUMRAH, PEREMPUAN SEBAGAI IMAM SHOLAT
Oleh : A.Adib Masruhan.

“Islam tidak membedakan antara lelaki dan perempuan, memperlakukan secara setara, namun kaum lelaki telah membuat hukum untuk menjustifikasi fikih dalam memenjarakan perempuan dan meletakkan sebagai pasangan seksual semata, padahal Allah sendiri tidak bisa di sifati sebagai lelaki atau perempuan, karena Allah bukan seperti manusia” Amina Wadood dalam khotbahnya yang di langsir oleh koran Mesir Al Massa.

Amina Wadood, Aktivis perempuan dan dosen Studi Islam di Universitas Virginia Commonwealth, Amerika Serikat, telah lama mengajukan konsep sholat jum`at dengan imam seorang perempuan untuk di laksanakan di berbagai mesjid, namun selalu di tolak oleh seluruh masjid di New York, bahkan di seluruh wilayah Amerika, akhirnya sholat jum`at tersebut dapat terselenggara tapi di sebuah gereja dengan peserta hampir mencapai seratus orang, sedang yang bertindak sebagai khotib dan imam adalah Amina Wadood sendiri, penyelenggaraan sholat jum`at kontroversial pada 18 Maret tersebut, dengan mengundang stasiun televisi Aljazeera dan Alarabiya yang merupakan stasiun televisi terpopuler di dunia Arab dan Islam.
Apa yang di lakukan oleh Amina Wadood tadi tidak sekedar menggegerkan kaum muslimin, namum mencoreng citra Islam, karena melaksanakan ibadah di dalam gereja.sehingga.banyak yang menjulukinya sebagai “perempuan gila”, tindakannya sebagai bid`ah (yang menyesatkan), pelanggaran atas syari`at Islam secara jama`i (kolektif), melanggar ijma`(kesepakatan ulama), dan lain sebagainya.

Tidak lumrah.
Sebetulnya kasus Amina Wadood ini sekedar pelaksanaan ibadah yang tidak lumrah, di lihat dari kasus permasalahannya yang kontroversial tersebut di runut oleh hadits hingga kajian fiqih Islam, dan yang sebetulnya bukan hal baru.. Pertama, pelaksanaan ibadah di dalam gereja, merupakan ibadah yang tidak lumrah di lakukan oleh umat islam, karena gereja merupakan tempat ibadah yang di gunakan oleh umat beragama lain sehingga pelaksanaan sholat di gereja menjadi tanda tanya ada apa di balik itu?, dengan banyaknya gambar terpampang, yang Rosulullah melarang pemasangan gambar-gambar dalam sebuah ruangan Ibnu Abbas (sahabat Nabi) tidak senang ada pelaksanaan sholat di gereja dengan alasan adanya banyak gambar.

Padahal syarat sahnya pelaksanaan sholat cukup berada pada tempat yang suci, di manapun berada, sebgai mana Umar ibn Abdul Aziz pernah mengimami sholat jama`ah dalam sebuah gereja di Syria. (Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 1:423). Dan baru baru saja disampaikan oleh VOICE OF AMERIKA bahwa sebagian umat Islam amerika melaksanakan sholat tarawih di dalam beberapa gereja dan sinagoge di berbagai wilayah Amerika. Hal itu terlaksana karena di Amerika sulit ditemukan mushola akau masjid.

Kedua, Perempuan menjadi imam sholat bagi lelaki maupun perempuan, ini merupakan substansi dari topik pemasalahan yang menimbulkan banyak perbincangan, tidak bisa membayangkan jika para ulama mau memberi fatwa menerima hal itu, namun dalan realitas bahwa permasalahan ini merupakan tema lama pembicaraan ahli fikih, yaitu bila ternyata perempuan mempunyai nilai lebih dalam ilmu pengetahuan keislaman di bandingkan para lelaki, kenapa tidak boleh?.
Dalam hadits shahih (Riwayat Abi Dawud) dari Ummu Waroqoh binti Naofal al Anshoriyah :”Nabi SAW mengunjunginya di rumahnya, sambil mengangkat seorang muadzin (lelaki) beliau memerintah Ummu Waroqoh untuk meng-imami penghuni rumah, (dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan)”dalam sholat-sholat fardlu”. Kata al Shon`ani dalam kitab subulu al salam, hadits ini menunjukn absahnya imam wanita terhadap penghuni rumah walaupun ada lelakinya, pendapat ini di dukung oleh para imam seperti Abu Tsur, al-Muzani, at-Thobari.(juz 2:35). Ibnu Taimiyah menukil bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal memperbolehkan perempuan menjadi imam bagi para lelaki bila mereka tidak mampu membaca Alqur`an (al Qowaid al Nuraniyah 2:78).
Namun ada yang memberi batasan pada sholat tertentu perihal ke-absah-an imam perempuan, diantara ulama yang mengesahkan ke-imam-an wanita terhadap lelaki hanya pada sholat Tarowih bukan sholat fardlu, adalah Imam Abu al Khotthob (penyusun majma`u al Bahrein), Imam al Zarkasyi dan Imam Ibnu Hubairoh (lihat Al Inshof karya al Mardawi 2:246).
Memang ini merupakan hal yang tidak lumrah karena mayoritas ulama menyatakan tidak sah ke-imaman tersbut.Mereeka berdasar pada hadits riwayat Ibnu Majah yang menyatakan “jangnlah sekali-kali perempuan mengimami lelaki”. Namun hadits ini diragukan kebenarannya dan Dioif (shon`ani dalam subulu al salam 2:28).
Ketidak-lumrahan yang ketiga dan keempat adalah perempuan menjadi khotib dalam pelaksanaan sholat jum`at, apabila menjadi imam itu sah, maka menjadi khotibpun sah-sah saja, Sedangkan perihal posisi perempuan berbicara atau orasi dihadapan lelaki, bisa dilihat dalam peristiwa Asma binti Yazid al Anshori, yang menuntut emanispasi dan melakukan orasi dihadapan Rosulullah dan para shabat dengan mengatakan:
“Ya Rosulallah, saya adalah delegasi para wanita menghadap kamu, Allah mengutus kamu kepada lelaki dan perempuan, kami beriman kepadamu dan Tuhanmu, kami para perempuan terbatas hanya sekedar menjadi tiang-tiang rumah, pelampiasan nafsu, mengandung dan melahirkan anak-anak, sedang engkau para lelaki mendapat kebebasan dalam berkumpul-kumpul, Membesuk orang sakit, mengantar jenazah, berulang kali berhajji, dan yang paling utama adalah bisa berjihad di jalan Allah, Dan bila para lelaki pergi haji, umroh atau jihad, kamu menjaga harta, menyongket pakaian dan mendidik anak-anak mereka, apakah kami tidak boleh untuk bergabung memperoleh pahala dan kebaikan bersama mereka ?”

Nabi SAW membalikan tubuh menghadap ke para sahabatnya seraya mengatakan: “pernahkah kalian semua mendengar ungkapan perempuan seindah yang di tuntut oleh wanita ini tentang hak-hak dalam agamanya ? jawab mereka : “kami tidak pernah mengira bahwa ada perempuan yang meendapat pencerahan seperti dia.”(Ibnu al Atsir dalam Usud al Ghobah 5:415), ini pujian Rosulullah atas perempuan yang menuntut hak-haknya dalam konteks agama Islam..

Kelima dari perilaku tidak lumrah dalam kasus yang ditayangkan televise aljazeera terlihat para jamaah campur antara lelaki dan perempuan dalam shof, mereka tidak di pisah baik dengan sekat mupun barisnya, sebagaimana di al Masjid al Haram di kala musim Haji, perempuan ada didepan lelaki, di samping atau belakangnya, dan tak ada kritik dari siapapun kecuali hanya usaha sebagian penjaga masjid yang berusaha memisahkan antara lelaki dan perempuan dengan beda lokasi. Peristiwa Amina Wadood dan yang ada dalam al Masjid al Haram adalah merupakan tradisi yang telah ada sejak zaman Rosulullah, seperti cerita Ibnu Abbas “Ada seorang wanita cantik sholat dibelakang Rosulullah, sebagian sahabat ada yang mengambil shof kedepan agar tidak melihatnya dan ada pula yang di belakangnya berada diakhir shof, sehingga ketika mmelakukan ruku’ bisa melihatnya dari bawah ketiak”(HR Tirmidzi :5128)
Yang terakhir permasalahaan ini, terlihat dalam tayangan televise tersebut, seorang wanita sholat dengan rambut terbuka, alias rambutnya tidak tertutup jilbab maupun mukena, tidak seperti kondisi sholat perempuan di Indonesia yang tertutup rapat dan bahkn sakan-akan berlebihan dalam menutup aurat, mulai dari punggung telapak tangan harus tidak kelihatan, menambahkan mukena untuk menutup aurat, sehingga sholat seorang muslimah Indonesia sering tergantung pada ditemukan atau tidaknya mukena, bila tidak menemukan mukena di suatu masjid dalam perjalanan, lebih suka tidak sholat dan meng-qodlo-nya nanti bila sudah ada mukena.

Terkait permasalahan aurat bagi perempuan muslimah, diwaktu sholat atau di luar adalah sama dan tidak beda, kecuali dalam kondisi tertntu seperti pemeriksaan dokter, berada di antar muhrim / keluarganya atau dalam kesaksian sebuah pengadilan yaitu dengan menutup seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan.
Kalau diruntut peristiwa membuka aurat di masa Rosulullah, sebagaimana yang di riwayatkan oleh al Imam al Bukhori (hadits ke 190), Ibnu Umar bercerita “lelaki dan perempuan berwudlu secara bersama-sama pada zaman Rosulullah SAW” (ada penjelasan tambahan dalam riwayat Abu Daud) “dari tempat satu bersama-sama”, maka ketidak lumrahan tersebut menjadi hal biasa, yaitu membuka lengan, rambut bahkan sampai ketengkuk dan telinga, karena dalam pelaksanaan wudlu harus membuka anggota tersebut, pada hal dalam cerita diatas lelaki dan perempuan secara bersamaan berwudlu dari suatu bejana yang satu.
Ada yang memberikan penafsiran terhadap hadits tersebut, bahwa kata lelaki dan perempuan tersebut adalah suami istri (Rofii dalam madzhab syafii), ada pula yang mengatakan tempat boleh satu tapi pelaksanaan digilir dalam waktu yang berbeda (Malik dalam Muwatho) dan ada juga yang menyatakan peristiwa dalam cerita terjadi sebelum di berlakukan hijab (Ibn Hajar).
Demikian ketidak lumrahan dari kasus Amina Wadood ini kami paparkan, bukan untuk mencari hal yang mudah atau melecehkan ketentuan hukum yang telah dijustifikasikan oleh para ulama, tapi untuk menunjukan bahwa kasus tersebut bukan merupakan hal yang baru dalam dunia Islam, dan perbedaan pendapat dalam memahami dan menafsiri nash / dasar agama biasa terjadi sejak era sahabat sampai sekarang masih tetap berkembang, yang mana hal tersebut bagi dunia pesantren merupakan kewajaran, dan penulisan ini bagaikan nguyahi segoro. wallohu`Alam bi al showab.




A. Adib Masruhan.
Staf pengajar di Pondok Pesantren Almaghfur, Mranggen, Demak.